Peran Manajemen Resiko Pada Bank Umum Syariah

Penting untuk dicatat bahwa setiap penggerak perekonomian Indonesia memerlukan manajemen risiko. Risiko dapat diartikan sebagai “kemungkinan terjadinya cedera, kecacatan atau bahkan kehilangan” dan sering diartikan sebagai “kemungkinan hasil yang diperoleh akan menyimpang dari harapan”. Risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan terjadinya kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa. Bank merupakan salah satu komponen penting penggerak perekonomian dan tunduk pada peraturan yang sangat ketat. Bank memang mempunyai mekanisme organisasi yang baik, sehingga bank dituntut untuk memiliki sistem untuk mengurangi risiko. Manajemen risiko di mata bank adalah seperangkat metode dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha. Kegiatan perbankan melibatkan banyak aspek dan tidak hanya mencakup produk tabungan saja melainkan seluruh produk perbankan.

Karena peran perbankan semakin besar dalam meningkatkan ekonomi kelompok – kelompok individu yang berpengaruh pada peningkatan lowongan pekerjaan, bank pastinya memiliki resiko yang harus dikelola. Agar dapat bertahan dalam lingkungan yang berorientasi pasar jual – beli, bank harus memposisikan dirinya sebagai lembaga keuangan yang membantu jalannya pasar tersebut. Biasanya evaluasi manajemen resiko yang dilakukan bank satu kali dalam satu tahun, namun berbeda – beda tujuan yang ingin dievaluasi. Penilaian evaluasi ini dilakukan oleh promotor – promotor yang mengeluarkan peraturan dan disaksikan langsung oleh pemangku kepentingan.

Praktik manajemen resiko ini perlu dilahirkan dan dikembangkan lebih jauh pada perbankan, walaupun bank bukan lembaga penyedia barang melainkan penyedia jasa. Manajemen resiko juga bagian integral dari kebijakan – kebijakan bisnis perbankan. Dalam bank umum syariah, banyak keunikan yang harus dilakukan dalam memitigasi resikonya. Sebenarnya, bank umum syariah bisa saja langsung mengambil unsur manajemen resiko dari bank konvensional misalnya kerangka kerja, pengukuran, dan proses akhirnya. Baik bank umum maupun bank umum syariah, saat penerapan teknik manajemen resiko yang tepat akan terasa dampaknya. Bank akan lebih mudah untuk mengenali resiko, mengambil resiko, mengubahnya jadi peluang bisnis, dan mengubahnya menjadi keunggulan yang kompetitif.

Manajemen risiko harus memiliki karakteristik yang baik sehingga mampu dinamis, interaktif, dan mampu merespons setiap perubahan lingkungan internal dan eksternal bank. Manajemen risiko juga mengharuskan bank memiliki struktur organisasi yang jelas dan lengkap, memperjelas tanggung jawab dan kewajiban masing-masing struktur. Struktur organisasi harus dirancang untuk menjamin unit kerja menjalankan fungsi pengendalian internalnya. Bank perlu memiliki departemen yang hanya mempertimbangkan risiko yang timbul, yang sering disebut “komite manajemen risiko”. Pengurusnya harus independen terhadap unit usaha tetap bank, namun dapat menambah anggota tidak tetap berdasarkan kebutuhan bank.

Keanggotaan komite biasanya terdiri dari mayoritas direktur dan pejabat eksekutif terkait yang bertugas melakukan penilaian dan memberikan rekomendasi kepada presiden mengenai manajemen risiko. Keanggotaannya juga harus disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas bank, khususnya pada bank umum syariah. Anggotanya juga memiliki wewenang dan tanggung jawab, seperti mengawasi penerapan kebijakan baru, meninjau usulan kegiatan atau produk yang dikembangkan oleh unit bisnis tertentu, dan bahkan memantau kepatuhan terhadap undang-undang dan hukum Syariah. Untuk memaksimalkan efektivitas anggota komite manajemen risiko, kebijakan dan prosedur bank harus didasarkan pada strategi manajemen risiko dan dilengkapi dengan toleransi dan batasan risiko. Selain itu, bank umum, khususnya bank umum syariah, harus memiliki proses manajemen risiko yang tepat dan strategi mitigasi risiko yang tepat.

Dalam memitigasi risiko bank, bank harus menetapkan proses seleksi debitur yang efektif, proses pengawasan yang efektif, kebijakan kesabaran dan penilaian, serta kebijakan lain yang meminimalkan kerugian jika terjadi kegagalan debitur. Bagian utama dari penerapan proses manajemen risiko dapat dicapai dengan mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko. Identifikasi risiko harus bersifat proaktif karena memungkinkan analisis sumber dan kemungkinan dampak negatif. Bank juga perlu melakukan pengukuran risiko berdasarkan karakteristik dan kompleksitas kegiatan unit bisnis. Efektivitas penerapan manajemen risiko harus didukung oleh pengendalian risiko yang memperhatikan hasil pengukuran dan pemantauan risiko.

Dalam melakukan identifikasi risiko, bank harus memahami karakteristik risiko yang diperlukan. Biasanya risiko pada suatu perusahaan atau perbankan sering dikaitkan dengan dua teori, yaitu teori domino dan teori rantai risiko. Teori domino menjelaskan bahwa kecelakaan dapat dipandang sebagai rangkaian lima tahapan yang digambarkan oleh domino itu sendiri. Jika salah satu kartu terjatuh maka akan mendorong kartu kedua terjatuh, begitu seterusnya hingga kartu terakhir. Terdapat lima tahapan sebelum suatu kecelakaan benar-benar terjadi, kelima tahapan tersebut adalah lingkungan sosial individu, kesalahan respon individu, perilaku ceroboh, kecelakaan dan cedera. Sedangkan teori rantai risiko digambarkan sebagai gudang dengan bahan-bahan yang mudah terbakar tetapi juga minyak dan kompor. Begitu ada yang menyalakan kompor, otomatis minyak mencapai bahan yang mudah terbakar.

Mengenai risiko yang mungkin dihadapi perbankan, terdapat dua aksioma yang didasarkan pada pendekatan fiqh, yaitu al-kharaj bil al-daman dan al-gunm bi al-gurm. Pendekatan pertama berpendapat bahwa keuntungan moral masih dapat dipertahankan hanya dengan mengambil risiko kerugian, sehingga keuntungan diperoleh dari hal lain selain dari pengambilan risiko, yang dianggap tidak adil. Pandangan lain menyatakan bahwa syirkah adalah keuntungan yang didasarkan pada rasionalisasi dan prinsip konsep bagi hasil. Syirkah sendiri memberikan manfaat dengan menghasilkan uang secara kolektif, berbisnis dan berbagi risiko, sehingga berbagi resiko bersama yang dapat memberikan kontribusi terhadap ekonomi banyak individu.

Resiko yang harus diukur bank umum syariah bukan hanya di dalam manajemennya melainkan juga diranah pencarian nasabah, apalagi nasabah yang memang datang ke bank untuk melakukan permohonan pembiayaan. Bank umum syariah wajib mengukur resiko pembiayaan untuk membatasi atau mengurangi resiko pembiayaan, mengklasifikasikan aset, dan menghitung proporsi kerugian. Hal ini dilakukan agar bank juga dapat memastikan bahwa ada cukup modal untuk menyerap resiko yang diantisipasi. Maka dari itu, hak dan kewajiban yang dijalankan oleh bagian pemasaran bank itu cukup sulit dilakukan. Bagian pemasaran harus mengejar target nasabah namun juga harus melihat kesehatan dari nasabah itu sendiri.

Resiko lain yang membutuhkan perhatian lebih ialah resiko operasional, resiko ini memiliki umur yang cukup tua karena dikenal sebelum resiko – resiko lain bermunculan di dalam dunia bisnis. Resiko operasional biasanya terjadi karena adanya faktor individu, internal manajemen, proses sistem, teknologi, kepatuhan terkait peraturan, atau faktor eksternal mencakup bencana alam, kerusuhan, perang dan lainnya. Namun jika dibandingkan antara bank umum dengan bank umum syariah, pastinya resiko operasional ini akan lebih besar nilainya di dalam bank umum syariah. Kesadaran bank dalam membangun resiko operasional harus dimulai dengan membangun kesadaran terhadap faktor – faktor resiko potensial. Resiko operasional yang seringkali terjadi di bank ialah salah pengetikan jumlah nominal yang seharusnya.

Tata kelola dari bank umum syariah sebenarnya mirip dengan bank umum, namun dengan fitur yang berbeda seperti keberadaan Dewan Pengawas Syariah dan perannya investor sebagai deposan utama. Bank umum syariah memiliki konsep tata kelola yang berorientasi pada pemangku – pemangku kepentingan dalam prinsip hak milik dan kontrak. Model seperti ini dilakukan agar bank umum syariah berusaha untuk menjaga hak – hak yang seharusnya didapatkan oleh pemangku kepentingan. Model tata kelola berasal dari pemahaman tentang tiga prinsip Islami yaitu pengakuan hak milik suatu individu, signifikansi kewajiban kontraktual, dan penegakkan aturan hukum positif serta hukum syariah.

 

 

 

 

Oleh: Kinandhana Widya Dewi – Mahasiswi STEI SEBI