Ragam  

[CERPEN] Kasus Pencabut Mata

Cerpen

Catatan yang diteruskan oleh Addie, 1981. Untuk mengenang Richard Catwhile:

Dari data forensik hari senin tertanggal sebelas Mei 1981 yang termuat di branda berita Internasional milik FIC Forensic International City. Aku dengar anjing-anjing daerah Singtuna mati mengenaskan. Tidak ada yang tahu penyebabnya, masih tanda tanya. Sekitar pukul satu, mereka melolong kesakitan mirip nyanyian kematian. Suaranya menelusup masuk ke antara pintu-pintu rumah yang terkunci. Sampai suara mereka terbenam karena kondisinya yang sudah sekarat dan jatuh mati mengenaskan.

Manusia tertidur pulas waktu itu tanpa ada yang tahu bagaimana penyebabnya anjing-anjing mereka tewas terbunuh satu persatu. Awal kejadian sebelum anjing-anjing itu mati, adalah ketika seorang laki-laki tua meninggal di persimpangan menuju Langham blok A barat. Darahnya menetes-netes sampai ke telapak kakinya yang telanjang. Tubuhnya tengkurap ke depan, mengatup tanah. Ketika ditemukan di pagi hari, jasadnya sudah dibelatungi. Kelopak matanya bernanah, darahnya pun hampir mengering karena angin malam yang berhembus.

Waktu itu aku salah satu jurnalis yang datang paling utama ke tempat kejadian. Yang anehnya, menurut keterangan polisi, korban dikabarkan tidak dicekik atau tidak terkena benda tajam. Tubuhnya juga tidak digigit hewan buas atau anehnya lagi lelaki itu tidak sedang mengkonsumsi apa-apa selain makanan vegetarian. Ia juga tidak keracunan bahan makanan. Lagipula mata kanannya masih tetap utuh walau yang kiri sudah bolong. Tanda-tanda memiliki penyakit dalam maupun penyakit kanker di tubuhnya pun tidak sama sekali terdeteksi. Kecuali orang yang sering memakan daging babilah yang terinfeksi taenia, cacing pita. Namun, nyatanya orang ini tampak sehat bugar. Walau umurnya sudah ke arah manula.

Dan untuk kasus sekarang yang baru saja terjadi dan juga baru-baru ini kupotret adalah anjing-anjing berjejer di jalanan mati mengenaskan sama seperti lelaki tua itu. Mata kiri mereka penuh belatung. Dan kanannya menatap ke langit-langit menemui ajalnya yang datang tiba-tiba.

Terhitung jarak dari anjing ke anjing yang terkapar adalah sekitar satu meter. Menelungkup seperti sedang kedinginan. Juga menggigit lidah mereka sendiri, ada yang nyaris putus.

Diambil dari data kematian sebelumnya, kasus ini bukanlah virus yang menyebar melalui ketahanan tubuh. Jumlah imun dan kesehatan mereka masih terlihat normal. Namun, ini sangat aneh dan benar-benar aneh. Sebab, kejadian ini beruntun di waktu yang sama. Menurut catatan polisi yang sempat kudengar tadi pukul delapan pagi baru kali ini mereka mendapatkan kematian yang menyita beberapa awak media. Sampai media Swedia, Norwegia, Finlandia dan juga daerah Eropa Utara lainnya. Termasuk  Denmark yang ikut memberitakan tentang: anjing-anjing mati beruntun di Kota Sigtuna. Cukup meluas.

Para pemilik anjing-anjing pun kulihat begitu sendu, ada juga yang menangis meraung-raung di dekat garis batas polisi. Mereka tidak menduga bahwa anak didik mereka mati muda dan mengenaskan di tanah yang dingin dan lembab.

Kembali ke tempat kejadian, aku memotret sebagian dari pemilik peliharaan untuk kudokumentasikan seperti biasa. Mereka beragam-ragam, tentu orang Meksiko berkulit hitam itulah yang paling menonjol di antara mereka kulit putih. Aku mengamati wajah tirusnya yang terlihat lelah. Kacamatanya hampir melorot saking mengantuknya, tapi tetap saja orang Meksiko itu menatap anjing kesayangannya yang tertidur lelap di tanah tanpa harus membenarkan letak kacamatanya.

Investigasi ini berakhir ketika tubuh anjing-anjing dipindahkan ke dalam pembukus jenazah. Sekitar lima sampai enam kepala yang terkapar di tanah. Tentu aku termenung memandang anjing-anjing yang dibopong ke dalam mobil ambulan. Karena belakangan ini kasus yang aneh dan tidak masuk akal itu menjadi buah bibir masyarakat kota melalui ranah media internasional. Lagipula aku tidak mempercayai kejadian ini. Bukan! Bukan tidak percaya mereka mati. Namun aneh saja kematian mereka tidak didasari oleh manusia maupun hewan buas. Aku harus melakukan riset, tentu. Walau sebenarnya aku hanya ahli di bidang fotografer kriminalitas kota.

Minggu pertama, aku mengobrak-abrik perpustakaan umum milik kota. Mencari solusi penyebab terjadinya keanehan yang datang secara tiba-tiba. Sambil membawa kameraku yang kemarin ikut serta dalam penugasan di Sigtuna. Aku duduk di pojok timur bersama buku kesehatan, atau apapun tentang penyakit. Kutumpuk-tumpukan buku itu mirip permainan uno balok. Kuraih dan kubuka buku pertama yang berjudul General Disease Medium I milik Gregory J.O.

Setelah kutela’ah, dari gaya kepenulisan, bahasa dan gaya penyampaiannya mirip Addie Lewis sahabatku yang terlalu teoritis. Membumbui dengan kalimat-kalimat kognisi yang kurang tepat. Kututup bukunya. Kemudian aku beralih ke buku setebal kotak bekalku yang hampir kugunakan untuk menaruh sepatu.

Judul yang kulihat begitu modern, mungkin ini cetakan baru milik Jose Verguson. Di dalamnya terlihat ringkas, namun ringkas pun sama saja seperti buku bacaan yang sulit ditelan. Kubaca bab lima yang menerangkan tentang penyakit kornea mata. Bahkan dari sebagian hal terkecil tentang kedipan berapa per-second, nanosecond, picosecond di sana ada. Aku harus benar-benar memuji orang yang membuatnya. Brilian.

Namun sayangnya yang membuat mata ditumbuhi belatung itu tidak ada, kecuali kubaca dibagian akhir. Jika dihinggapi oleh salah satu binatang kecil seperti lalat, kemungkinan bisa diakibatkan karena penularan dari apa yang sebelumnya lalat itu hinggap. Menaruh telur-telur larva kecil yang nanti akan menjadi belatung. Menyeramkan, bukan. Tapi kasus saat ini berbeda. Aku hanya berpikir apakah lalat mengetahui di mana mata kanan dan kiri, agar penempatan di semua virus miliknya merata seperti pada anjing-anjing yang mati. Membiarkan belatung itu berkembang biak. Dan bagaimana belatung itu menewaskan anjing-anjing itu secara bersamaan sampai semuanya terhampar di tanah yang sama walau jaraknya cukup jauh.

Lagi pula untuk pertama kalinya aku membaca tentang buku-buku penyakit milik profesor dan juga analisis muda seperti ini. Biasanya hanya tentang kematian seorang yang diakibatkan gagal jantung, stroke, gegar otak, ketabrak atau tentang mati berhalusinasi sampai telanjang di jalan.

Sampai malam pun aku masih berkutat memandangi hamparan tulisan kecil-kecil dengan mataku memburam. Mungkin aku harus mandi, menggosok gigi dan terlelap di atas kasur empuk. Karena esok aku harus bekerja lagi.

Pada minggu kedua setelah kejadian mengerikan. Aku diam memperhatikan puluhan gambar yang kuperoleh dari hasil potret kemarin. Menganalisis dari ekspresi wajah kesakitan mereka, ada yang kuperbesar gambarnya, kujadikan sebagai contoh anatomi dan berlagak sok sebagai dokter spesialis tubuh, tak lupa kucoret apa-apa yang terlihat aneh.

Kutulis secara ringkas di dalam post-it sampai kulingkari pula seorang laki-laki pendek di antara orang-orang yang sedang bergerumbul. Wajahnya samar seperti efek dari kameraku. Tapi akan kupastikan saat memotret bagian para pemilik anjing-anjing itu, dia tidak ada. Entah, ketika dicetak laki-laki pendek itu ada di sana. Menjadi salah satu orang yang ikut bersedih. Hanya wajah lelaki itu yang terbayang, yang lainnya terlihat jelas dan juga jernih.

Aku termenung beberapa saat sampai akhirnya aku mendengar suara seorang laki-laki menggeram dari luar rumah. Suaranya mirip lolongan anjing yang berduka cita. Seketika aku menghentikan tanganku yang sedang memilah foto. Terdiam sebentar sampai aku melirik ke asal suara, mengalihkan perhatian ke pintu utama yang tertutup rapat. Kudengar lagi suara geraman atau suara orang terengah-engah yang habis berlarian. Suaranya samar dan begitu dalam, seperti suara Kakek-Kakek sekarat di atas ranjang rumah sakit.

Ada manusia, pikirku ketika aku beranjak berdiri. Aku berjalan perlahan kepintu utama, melongok dan menyipitkan kedua mata yang ternyata tidak ada siapa-siapa di luar sana. Namun begitu aku berbalik meninggalkan pintu, suara geraman itu datang lagi seperti suara orang yang sedang mendengkur. Jalanku terhenti. Aku menoleh berbalik dan melongok ke jendela samping pintu.

Suara geraman maupun orang asing itu sama sekali tidak ada di sana. Heran aku bertanya dalam hati. Bagaimanapun kondisi seperti ini membuatku takut juga, walau aku seorang laki-laki tulen. Aku tetap manusia biasa yang memiliki segudang dosa. Jarang untuk mau bertaubat ke gereja.

Aku bukanlah seorang jema’at yang mampu menekuni ribuan kata-kata dari Bibel setiap hari. Hanya pada hari Bapalah aku meminta kasih dan menyanyikan rohani karena untuk menghormatinya. Lantas dalam kondisi seperti ini, mulutku berkomat-kamit mengimbangi ayat-ayat yang terkandung di Alkitab, dan sebagiannya lagi aku mengarang bebas.

Yang menjadi rasa penasaranku bertambah ketika bulu kudukku berdiri, mataku berat sebelah dan berdenyut-denyut. Kuperhatikan halaman rumahku yang tidak begitu besar. Kucoba untuk menghening dan ternyata aku hanya mendengar suara binatang malam.

Aku menutup kembali gorden yang sempat kubuka, dan aku masih tetap berdiri di depan jendela menunggu suara apa yang kudengar sedari tadi. Saat aku merasakan suara itu datang lagi, kubuka lebar-lebar gorden dan betapa terkejutnya aku melihat seorang laki-laki dengan mata kirinya bolong sedang membenturkan kepalanya berkali-kali pada jendela rumahku. Sampai darah mengucur keluar dari lubang mata kirinya.

Wajahnya menyeramkan. Pinga aku dibuatnya. Gorden yang tadi kubuka belum sempat kututup, lelaki itu juga masih terlihat di jendela. Aku tidak panik, tidak gentar, aku hanya masih terkejut dengan kejadian yang datang tiba-tiba di depan mataku. Aku bahkan masih mematung, berpikir jika manusia yang di depan jendela dan mengetuk-ngetuk kepalanya sampai berdarah itu gila, sinting, atau yang lebih parahnya dia sakit jiwa. Ketika mataku mengedip cepat, sosok makhluk itu sekejap berubah menjadi siluet yang terbang ke langit.

Hening. Lelaki itu menghilang. Bekas noda darah yang sempat terciprat di jendela rumahku itu tetap terlihat. Dan juga ada yang menggeliat di sana. Kulihat belatung-belatung tengah bergerumbul. Menggeliat bersama-sama seperti sedang ikut perlombaan. Mungkin semua belatung itu berasal dari lelaki aneh yang ajaibnya menghilang mirip sihir-sihir modern, atau dari salah satu tipu daya miliknya. menakjubkan.

Degup jantungku berangsur ke semula, rasa ingin kabur pun menghilang. Karena untuk dibawa berjalan ke dekat jendela saja rasanya sangat berat. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke tempat semula walau jalanku terseok-seok dengan kondisi penuh keringat dan juga penuh tanda tanya. Binatang apa tadi?

Catatan diary yang diteruskan Addie untuk Richard:

Di malam berikutnya ketika aku menikmati siaran offair sepak bola, Timnas Swedia melawan Timnas Belanda di teve. Suara ketukan keras terdengar dari lantai atas. Aku menurunkan suara volume teve dan mendengarkan ketukan itu.

Hening.

Hanya suara samar-samar teriakan dari host sepak bola. Pada saat itu aku tidak merasakan hawa aneh atau apa-apa yang membuat bulu kudukku berdiri, namun saat kuingin memperbesarkan volume televisi, suara ketukan keras itu terdengar. Lagi.

Aku mematikan televisi, ketukan itu terus berlanjut. Sekarang dari arah pintu utama, beralih ke jendela. Seolah ketukan itu memutari rumahku, dari mulai pintu depan, belakang, lantai atas, jendela, semuanya digedor-gedor. Dan itu sangat keras. Aku berdiri dari sofa mengambil vas bunga yang berada di atas meja, hanya untuk berjaga-jaga jika ternyata yang menakut-nakutiku adalah orang iseng.

Suara ketukan itu berhenti di detik ke lima. Suasananya menjadi lebih hening, kemudian aku menaruh vas itu kembali ke meja dan berniat untuk melangkah ke arah pintu utama, memeriksa keadaan di luar rumah. Saat kubuka gorden. Seorang laki-laki berada di depan kaca jendela.

Aku terpekik.

Karena yang kulihat adalah lelaki yang kemarin menerorku. Kini ia kembali lagi seolah mau melakukan sesuatu. Tepat pada pukul satu dini. Dan anehnya ketika kutatap, ia tidak melakukan apa-apa. Ia diam. Aku memandang wajahnya buram. Karena di depan kaca jendelaku sudah banyak darah dan belatung lagi. Itu miliknya.

Lelaki itu mengangkat tangannya perlahan. Mengetuk kaca jendela, sangat pelan. Aku masih tetap melihat apa yang sedang dilakukannya tanpa berusaha untuk menghindar atau berlalu dari sana. Tiba-tiba ketukan itu terhenti, tangannya masih menyentuh jendelaku yang bernoda merah. Ia menunjukku dan menyuruhku untuk datang ke dekat jendela. Aku bingung. Masih berdiri di tempat. Dia tetap menyuruhku seolah ia berkata: berdirilah di dekat jendela.

Sepercaya itukah aku menjalankan perintahnya, karena tanpa sadar aku mulai berjalan ke dekat jendela. Dia tersenyum, ikut berjalan ke dekat jendela. Keheningan menyapa kami berdua pada saat ini, sambil kulihat dia berdiri. Mula-mula ia mengarahkan tangan kanannya ke dekat kelopak mata kiri yang bolong. Mencomot beberapa belatung. Mengarahkannya padaku, dan berkata: aku lapar.

Lalu setelah itu dia melahap belatungnya dan tersenyum: kamu tidak akan bisa melakukan ini, katanya tanpa ada suara yang keluar. Aku mual, merasakan jijik dengan apa yang baru saja kulihat. Lelaki itu kembali melakukan hal yang sama sampai kami diam lagi. Sudah berapa lama kami saling berpandangan, dan aku merasa bahwa aku sedang bercermin melihat bayanganku sendiri. Kami seolah mirip, namun bedanya dia hantu dan aku manusia. Selain menjadi seorang yang jahil, ternyata ia bisa meniru gaya wajahku. Dari mulai senyumku, hidung, kecuali mata. Apa aku yang salah melihatnya, kurasa tidak.

Dia mendekatkan kepalanya ke jendela. Aku hampir terjatuh karena dengan gerakan refleks lelaki itu mengetuk-ngetukan kepalanya lagi sampai aku terjungkal. Ia menggetukan kepalanya keras-keras.

Dugdugdug….,

Ritmenya semakin cepat, sekali hentakan darah itu turun mengalir mirip embun. Dia tertawa setelah itu sambil menggedor-gedorkan tangannya ke jendela. Aku mundur dan di waktu yang sama suara gedoran dan juga tawanya menghilang. Lelaki itu juga ikut menghilang. Begitu kutolehkan kepalaku ke samping kiri, lelaki itu berdiri. Mencongkel mataku yang kiri kemudian ia mencomotnya, menggantikan belatung ke dalam mataku. Kami bertukar alih.

Ternyata percobaan yang selama ini kuingin lakukan adalah sia-sia. Tidak mendapat apa-apa, tetapi yang kudapatkan hanyalah teror seorang laki-laki dengan mata berlubang seperti anjing-anjing yang terhampar di jalan. Ini lebih dari sial. Karena aku korbannya setelah anjing-anjing itu mati.

Catatan Forensik :

Tertinggal bukti-bukti yang terkuak di media cetak tahun 1981. Seorang laki-laki tewas di depan pintu rumah. Kejadian itu melanjutkan beberapa insiden yang terjadi di daerah terpencil Sigtuna, sekitar dua minggu sesudah lelaki itu mati. Yang menjadi korban teragis adalah Anjing type Siberian Husky, Pomerania, Boston Terrier, Cihuahua, Poodle dan juga anjing Golden Retriever. Lalu laki-laki yang mati di depan pintu itu bernama lengkap Richard Catwhile, berusia 25 tahun. Berstatus jurnalis dari media CIC, Criminal International City.

Kasus tersebut masih viral sampai tahun 1982 di semua penjuru media akibat seorang laki-laki bernama Addie membuat Journal: Pencabut Mata. Menenggelamkan kasus pemotongan pajak daerah yang melambung tinggi di Benua Eropa. Padahal ekonomi telah terendam akibat kecacatan dan keterlambatan pemasok barang-barang dan negara hampir rugi.

Penyebab kematian aneh itu terjadi bermula dari tahun 1980 di awal bulan Mei, laki-laki bernama Baron mati di persimpangan menuju Lengham blok A barat. Laki-laki yang terkenal sebagai penebang kayu juga sebagai pemilik restaurant vegetarian di desa. Berlanjut ke korban selanjutnya di bulan yang sama bernama Meddy, yang ternyata seorang pemabuk dari Bermingham yang terkenal sebagai penyumpah palsu alkitab dan pernah di penjarakan pada tahun 1959 dengan kondisi mabuk di St. Ellioso.

Kematian  mereka hampir sama, gejala yang timbul pun tak luput dari sebelah mata kiri yang hilang. Ditumbuhi oleh belatung. Dan hasil sampel belatung yang menggerogoti mereka adalah berukuran 5 mm.

Kemudian, hasil otopsi urat-urat di kepala mereka terlihat menegang. Akibatnya mereka mati dalam keadaan mata kanan tertarik ke atas, juga mereka merasa terkejut karena telah digrogoti bola matanya hingga habis. Selanjutnya, berkesinambungan pada otak, efeknya adalah miningitis sampai menyebabkan kematian.

Kasus masih berlanjut tanpa ada penanganan, dan sampai sekarang belum ditutup.

*Penulis: Nabilawuf