Ragam  

Idul Fitri 1443 Hijriyah: Peristiwa Ritual dan Perayaan Kultural

Heri
Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja.

Idul Fitri merupakan momentum yang sangat istimewa bagi kita ummat Islam di seluruh dunia setelah sebulan penuh menjaga jiwa dan raga kita dalam rangka melaksanakan serangkaian ibadah Ramadhan. Allah SWT mewajibkan kepada orang-orang beriman untuk melaksanakan Ibadah khusus yaitu berpuasa selama 1 bulan penuh dengan tujuan agar kita semua menjadi hamba Allah yang mampu mencapai derajat yang tinggi yaitu derajat taqwa. Sebagaimana firman Allah SWT  “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183).

Istilah Idul Fitri terdiri dari dua kata, yakni “Idul” dan “Fitri”. Kedua kata itu berasal dari Bahasa Arab, yakni kata ‘ied dan fithr. ‘Ied bisa diartikan dengan “kembali” dan fithr biasa diartikan dengan “asal kejadian” dan “kesucian”. Dengan demikian maka Idul Fitri bisa dimaknai sebagai hari raya kembalinya manusia kepada asal kejadiannya atau kesuciannya. Dengan alasan itu Idul Fitri disebut sebagai hari kemenangan, karena mereka yang melakukan ibadah puasa telah meraih kemenangan dengan mengendalikan hawa nafsunya sehingga kembali menjadi manusia yang suci. Manusia disebut kembali kepada kesuciannya karena pada mulanya manuisa itu berdasarkan asal kejadiannya adalah makhluk yang suci, namun karena kesalahan dan dosa yang dilakukan, maka jiwa manusia menjadi kotor.

Peristiwa Ritual dan Sosial Ekonomi
Idul fitri mengandung dua peristwa penting dalam kehidupan kita yaitu peristiwa spiritual dan peristiwa sosial. Peristiwa spiritual idul fitri sering diartikan sebagai momentum kemenangan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa, memperbanyak berzikir, membaca al-qur’an dan banyak sekali rangkaian ibadah Ramadhan sebagai bentuk pengamalan spiritualitas kita. Sedangkan peristiwa sosial ekonomi dalam konteks masyarakat kita saat ini adalah bahwa lebaran tak hanya milik orang islam, tapi juga telah menjadi peristiwa yang melibatkan agama lain. Idul fitri tak hanya menjadi kebahagiaan bagi orang islam tapi juga dirasakan oleh para pedagang yang non-muslim baik yang menjual makanan, pakaian maupun segala pernak-pernik lebaran.

Islam mengajarkan bahwa ketika lebaran tiba tak boleh ada satu orangpun yang menderita kelaparan maupun kekurangan, karna itulah zakat fitrah kemudian di syari’atkan. Sebagian mufassir berpendapat bahwa zakat fitrah tak harus diberikan pada orang islam yang fakir dan miskin saja. Bahkan jika bersandar pada pendapat Imam Abu Hanifah, Al-Mahdawi yang menegaskan di bolehkannya berzakat kepada sanak saudara yang miskin sekalipun non-muslim.

Disini letak pentingnya bahwa Idul Fitri bukan hanya soal perayaan ritual atau yang berkaitan dengan ibadah saja tetapi juga memiliki dampak sosial dan ekonomi yang sangat besar. Selain merupakan peristiwa ritual Idul Fitri juga menumbuhkan semangat untuk berbagi kepada sesama dalam bentuk keshalihan sosial, membangun kepedulian sehingga ada harmonisasi antara keduanya, inilah yang sering kita kenal sebagai hablum minallah dan hablum minannas.

Perayaan Kultural
Seiring dengan perkembangan zaman munculnya euphoria berlebihan sebagaian kita dalam menyambutnya, sehingga Idul Fitri yang pada hakekatnya adalah kembali suci sering dijadikan ajang untuk pamer kemewahan dan kesuksesan dalam meraih prestasi-prestasi, duniawi yang jauh dari nilai-nilai karakter mulia yang mengharuskan kesederhanaan dan kesantunan yang dipandu dengan peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

Inilah salah satu dampak negatif yang bisa ditimbulkan dari fenomena mudik lebaran ini, ada goncangan budaya yang jauh dari nilai-nilai keberagamaan, ada pemborosan yang tinggi, konsumerisme dengan menonjolkan keinginan semata, konsumtif pada kebutuhan yang tidak penting, pamer kemewahan, maupun perilaku lain yang menyimpang dari ajaran Islam.

Kemacetan lalu lintas menjadi pemandangan dan cerita berulang dalam sejarah mudik di tanah air kita ini menjelang Idul Fitri karena mudik terjadi secara serentak dan searah yaitu terjadi mobilisasi puluhan jutaan manusia dan jutaan kendaraan dari pusat kota terutama kota-kota besar seperti Jakarta, bandung, Surabaya Yogyakarta dan lain sebagainya menuju daerah-daerah pedesaan dan kota-kota kecil lainnya. Mengapa mudik terjadi? Faktor utamanya adalah karena semakin banyaknya orang yang merantau dari desa ke kota, kemudian juga karena adanya perpindahan penduduk (migrasi).

Mudik menunjukkan pada kita adanya kesenjangan antara kampung halaman dengan kota tempat menjanjikan banyak kesempatan, inilah yang mendasari bahwa mereka meninggalkan kampung halamannya untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Oleh karena itu mudik merupakan perayaan kultural bagi masyarakat Indonesia yang rindu kampung halaman, mudik juga merupakan suatu fenomena sosial bukan hanya sekadar rutinitas tahunan menjelang hari raya Idul Fitri. Mudik telah menjadi euforia tersendiri di Indonesia, lebih-lebih jika kita melihat mudik pada tahun ini dimana selama 2 kali lebaran Idul Fitri baru tahun ini pemerintah mengizinkan mudik meskipun harus melalui persyaratan vaksinasi boster dan lain sebagainya maka sudah pasti sekalipun badai menghadang, tetap saja antusiasme masyarakat kita terhadap tradisi mudik ini sangat luar biasa.

Faktor risiko perjalanan yang juga rawan kecelakaan dan mempertaruhkan nyawa individu dan keluarga tidak lagi menjadi pertimbangan, kita bisa melihat bagaimana mereka yang tidak memiliki kendaraan roda empat harus rela menggunakan motor menempuh perjalanan ratusan bahkan ribuan kilometer melintasi berbagai kota dan provinsi, ini sekaligus menunjukkan bahwa mudik lebaran oleh masyarakat Indonesia dijadikan sebagai kegiatan rutinitas, baik ritual kultural dan ritual sosial

Dalam sudut pandang sosiologis sebenarnya bisa dijelaskan bahwa tradisi mudik adalah sebagai media untuk mempererat dan mendekatkan para perantau yang telah sukses bekerja di kota dengan masyarakat yang masih tertinggal di desa. Maka tidak mengherankan juga ketika malah terjadi semacam unjuk diri kesuksesan selama di perantauan. Hubungan sosial (hablum minannas) bersilaturrahim, bersalam-salaman, bermaaf-maafan dengan masyarakat sekampung semoga dapat membawa keberkahan dalam memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Wallahu a’lam.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 H. Taqobbalallahu minna waminkum, taqobbal yaa kariim. Mohon maaf lahir dan batin.

Penulis : Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja (Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta, Anggota Forum Doktor Sospol UI, Wakil Ketua PDM Kota Depok).