Isra Mikraj, Nyepi dan Milad IMM

Robby Karman - SekJen DPP IMM
Robby Karman - SekJen DPP IMM (Foto: Istimewa)

Sebuah kebetulan yang indah, saya menyebutnya. Pada tahun 2021 ini, Milad IMM berdekatan dengan momentum penting dua agama, yakni Isra Mikraj dan Nyepi. Isra Mikraj diperingati 12 Maret 2021, 2 hari sebelum Milad IMM. Sedangkan Hari Raya Nyepi tahun ini bertepatan dengan Milad IMM dalam Kalender Masehi, yakni 14 Maret.

Karena momentum yang berdekatan ini, saya ingin mencoba mengaitkan 3 momentum tersebut menjadi serangkaian makna yang bersambung satu sama lain. Mungkin ini cuma bagian dari gotak gatik gatuk. Tapi semoga bisa diambil hikmahnya.

DPP IMM pada Miladnya yang ke-57 mengambil tema “Membumikan Gagasan, Membangun Peradaban”. Tema yang sangat cocok dengan peristiwa Isra Mikraj. Jika kita menyimak pemikiran Kuntowijoyo yang terinspirasi dari Muhammad Iqbal, Isra Mikraj merupakan peristiwa yang menjadi contoh dari etos kenabian atau profetik.

Apa itu etos kenabian? Muhammad Iqbal mengutip syair dari seorang sufi bernama Syaikh Abdul Quddus. Dalam syairnya, Abdul Quddus mengatakan, jika dia berada dalam posisi Nabi Muhammad SAW yang sudah sampai ke Sidratul Muntaha dalam mikrajnya, maka dia tidak akan mau lagi kembali ke dunia.

Untuk apa kembali lagi ke bumi jika sudah sangat dekat dengan Allah SWT? Bukankah Mikraj adalah pencapaian spiritual tertinggi? Kenapa harus kembali lagi ke dunia yang penuh dengan kubangan dosa?

Tapi itulah perbedaan antara sufi dengan nabi. Sufi melakukan syariat dan tarekat untuk mencapai makrifat dan hakikat. Saat sudah mencapai puncak spiritualitas, dia sudah asyik masyuk dengan Sang Kholiq. Dia tidak mau lagi mengurus hal-hal yang fana ini.

Sebaliknya seorang Nabi, setelah dia mencapai puncak spiritualitas, dia justru kembali ke bumi manusia dengan segala permasalahannya, meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer. Pencapaian spiritual dia jadikan bekal untuk berdakwah melakukan transformasi sosial di masyarakat.

Etos kenabian ini menjadi salah satu prinsip yang diajarkan kepada kader-kader IMM. Kuntowijoyo menggambarkan etos kenabian ini dalam sebuah syair indah yang berjudul “Makrifat Daun, Daun Makrifat”.

Sebagai hadiah
Malaikat menanyakan
apakah aku ingin berjalan di atas mega
dan aku menolak
karena kakiku masih di bumi
sampai kejahatan terakhir dimusnahkan
sampai dhuafa dan mustadh’afin
diangkat Tuhan dari penderitaan

Lebih lanjut Kuntowijoyo mengembangkan etos kenabian ini melalui penafsiran progresif terhadap QS. Ali Imran:110. Kuntowijoyo menafsirkan amar makruf dengan humanisasi, nahi munkar dengan liberasi dan tu’minuuna billah dengan transendensi.

Secara sederhana humanisasi artinya memanusiakan manusia. Liberasi artinya pembebasan dari penindasan. Transendensi artinya kesadaran akan adanya entitas transenden yang diimani.

Penafsiran Kuntowijoyo terhadap Ali Imron:110 menjadi semacam metodologi untuk mewujudkan etos kenabian dalam era modern ini. Semangat Isra Mikraj yang tergambar dalam etos kenabian mendorong agar para aktivis dan intelektual dapat membumikan gagasannya. Gagasan yang melangit dan tidak berdampak pada masyarakat secara riil tidak sesuai dengan etos kenabian.

Peristiwa Isra Mikraj tak hanya berhenti sampai pertemuan Nabi Muhammad SAW dengan Allah SWT di Sidratul Muntaha. Setelah dari sana, Nabi membawa sebuah syariat yang menjadi kewajiban umat Islam, yakni shalat lima waktu.

Ada dua unsur yang tidak bisa dipisahkan dalam shalat: pertama, bacaan, kedua, gerakan. Perpaduan bacaan dan gerakan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam itulah pengertian salat secara fiqh.

Kita bisa menafsirkan kembali syariat shalat melalui dua hal yang relevan dengan aktivis mahasiswa.

Pertama shalat mewajibkan kita melafalkan bacaan tertentu. Ini adalah etos literasi. Jika kita buka QS. Al Ankabut : 45, perintah mendirikan shalat datang setelah sebelumnya diawali perintah membaca (utlu mas uuhiya ilaika minal kitaab).

Artinya melakukan ritual ibadah harus dilandasi dengan ilmu. Ilmu didapat dengan membaca. Membaca hari ini merupakan bagian dari aktivitas literasi. Literasi sangat penting bagi seorang muslim. Tanpa literasi yang kuat maka kita akan tertinggal dari yang lain. Sebagai sebuah gerakan mahasiswa, IMM selayaknya mengamalkan dan mendakwahkan literasi di tengah masyarakat.

Kedua, unsur yang tidak bisa dilepaskan dalam shalat, selain bacaan adalah gerakan. Etos gerakan sangat relevan dengan aktivis mahasiswa, dimana pekerjaan seorang aktivis tidak lain adalah bergerak. Jika kita sambungkan dengan etos sebelumnya, maka hasil dari literasi harus melahirkan gerakan.

Sebagai gerakan mahasiswa, IMM bergerak dalam tiga ranah, kemahasiswaan, keagamaan dan kemasyarakatan. Hadirnya IMM mesti melahirkan gerakan yang bermanfaat bagi mahasiswa dan masyarakat di sekitarnya. Hal ini merupakan pengejawantahan dari syariat shalat.

Jika kita menengok kembali sejarah peradaban Islam, tak lama setelah peristiwa Isra Mikraj, Nabi Muhammad SAW kemudian melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Hijrah menjadi titik awal keberhasilan umat Islam dalam membangun peradaban.

Bagaimana hijrah bisa membangun peradaban? Kuncinya tetap pada tiga etos tadi, etos kenabian, etos literasi dan etos gerakan.

Nabi Muhammad pada masa Madinah tak hanya menjadi tokoh spiritual, namun menjadi pemimpin sebuah proto-negara yang disebut Madinah Al Munawwarah. Nabi Muhammad SAW bergelut dengan berbagai persoalan kemanusiaan pada masa itu.

Dalam masa hijrah di Madinah, terjadi sebuah perjanjian di Hudaibiyah. Perjanjian ini seolah merugikan umat Islam. Namun selama gencatan senjata dengan kaum Quraisy, umat Islam memanfaatkannya untuk melakukan literasi dengan mengajarkan dan mendakwahkan Islam di Madinah. Sampai saat penaklukan Mekkah terjadi, jumlah umat Islam sudah sangat banyak secara kuantitas.

Etos gerakan sangat terlihat dari awal hijrah. Dimana hijrah sendiri, pada asalnya artinya adalah bergerak dari satu tempat tempat lain. Pasca sampai di Madinah pun Nabi dan para sahabat tak berhenti bergerak. Nabi segera membangun Masjid Nabawi sebagai pusat gerakan.

IMM sekali lagi perlu menjaga tiga etos ini dalam rangka meneladani Nabi Muhammad SAW.

Setelah saya uraikan mengenai kaitan Isra Mikraj dengan IMM, saya ingin mengajak para kader dalam momentum Milad ini untuk sejenak melakukan Nyepi seperti yang dilakukan umat Hindu.

Nyepi di sini artinya melakukan refleksi, evaluasi dan introspeksi terhadap gerakan yang selama ini dilakukan. Bersamaan dengan hingar bingar syiar Milad yang digaungkan, berupa event yang dilakukan secara luring maupun daring, mari sediakan sedikit waktu untuk merenung dan memikirkan kemajuan ikatan ini.

Penulis : Robby Karman – Sekretaris Jenderal DPP IMM